Minggu, 10 Mei 2009

Bandung dan Permasalahannya


Konflik dalam Perencanaan Kota ( Tata ruang VS Tata Uang)

Salah satu persoalan mendasar yang penting untuk kita pahami, adalah adanya konflik atau benturan dalam perencanaan kota, sebagaimana dikatakan Haryoto Kunto dalam bukunya Wajah Bandung Tempo Doeloe.
`Conflict of interest merupakan problem yang akan selalu dihadapi dalam penentuan kebijakan yang berkaitan dengan perancangan kota. Dalam proses perencanaan dan perancangan kota, selalu terlibat adanya perbedaan kepentingan (conflict of interest) antara warga kota (masyarakat) di satu pihak, dengan para `pengangambi! keputusan " di lain pihak. Dalam hal ini para pengelola kota. " (Haryato Kunto; 9984: 324). Lebih jauh lagi, Kunto (ibid , ha1208) menambahkan :?Ada semacam obsesi membangun yang sering menghinggapi para pimpinan daerah, yang berpendapat bahwa ukuran kemajuan kota/daerah identik dengan lajunya pembangunan proyek proyek baru. "

Menurut John R Minnery (1985; 57-88) konflik dalam perencanaan kota dapat dikategorikan menjadi 4 kelompok sebagai berikut.
1. Konflik di balik perencanaan kota (Conflict over urban planning)
Dalam kategori ini ada 3 (tiga) hal yang melingkupi konflik perencanaan kota yakni konflik perencanan kota dalam konteks hubungan antar pribadi (the human dimension of conflict), konflik perencanaan kota dalam konteks proses sosial (the social context of urban planning) dan konflik perencanaan dalam konteks bangsa/negara (the nation-state context of urban planning)

2. Konflik di dalam perencanaan kota (Conflict in urban planning)
Konflik di dalam perencanaan kota berkaitan erat dengan elemen yang mendasari pentingnya perencanaan kota. Dalam hal ini konflik perencanaan kota berkaitan dengan ketersediaan sumber daya khususnya lahan perkotaaan. Selain itu, sumber daya juga menyangkut hal-hal yang sulit terukur (non tangibles) seperti informasi, lokasi dan hal-hal lain yang terkadang terlupakan.

3. Konflik atas perencanaan kota (Conflict of urban planning)
Konflik atas perencanaan kota berkaitan dengan metode, prosedur dan landasan - ­landasan sebagai pembenaran atas perencanaan kota. Dalam hal ini dapat diidentifikasi 2 hal yaitu metode dan desain yang digunakan serta konflik perencanaan kota sebagai konflik politik.

4. Konflik karena perencanaan kota (Conflict through urban planning)
Kategori ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi konflik yang tumbuh atau tercipta melalui aktivitas perencanaan kota itu sendiri atau disebabkan oleh proses perencanaan kota .

Kurangnya kesepakatan antar pelaku.

Dari hasil dikusi publik yang dilaksanakan di Walhi pada tanggal 25 Okotober 2005, Deny Zulkaidi seorang planer dari ITB yang juga merupakan konsultan, dikatakan bahwa, yang menjadi persoalan utama dalam pelaksanaan RTRW di Kota Bandung, adalah kurangnya pemahaman dan kurangnya kesepakatan seluruh pelaku pembangunan atas subtansi rencana tata ruang tersebut. Kurangnya pemahaman ini disebabkan memang rencana tata ruang ini masih berupa kebijakan (policy statement) yang belum dirinci kedalam peraturan pelaksanaan yang operasional (antara lain peraturan pembangunan atau zoning regulation, RDTRK/RTRK/RTBL. Meskipun secara politik kesepakatan ini telah ditunjukan dengan terbitnya Perda No. 2 Tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung, yang sekarang berubah menjadi Perda No. 3 Tahun 2006. Akan tetapi masih ada pihak-pihak yang berusaha mencari peluang untuk tidak mengikuti aturan/arahan penataan ruang didalamnya. Salah satu penyebab adalah kurangnya partisipatifnya proses penyusunan rencana tersebut, adanya konflik kepentingan yang tidak terselesaikan, atau adanya perubahan nilai dan kepentingan dari kesepakatan sebelumnya. Persoalan utama ini potensial menjadi penyebab terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan tata ruang.

Hal lain yang menjadi penyebab utama dari persoalan tersebut diatas adalah inkonsistensi pemerintah terhadap peraturan yang ada. Contoh kasus adalah dengan telah direvisinya Perda No. 2 Tahun 2004 tentang Tata Ruang yang baru berumur satu tahun. Ada inidikasi bahwa hal ini terjadi disebabkan oleh dorongan kepentingan pihak tertentu, yang memiliki motif ekonomi jangka pendek, sehingga mengabaikan kepentingan publik yang dalam hal ini masyarakat Bandung secara keseluruhan. Perubahan ini akan membawa dampak yang sangat besar bagi ekologi Kota Bandung. Perubahan pada peraturan, mengakibatkan adanya perubahan pada peta tata guna lahan. Dimana sebelumnya kawasan Punclut termasuk kawasan Lindung dan konservasi. Dengan telah direvisinya Perda No. 2 Tahun 2004, tentang RTRW, kawasan ini berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman berkepadatan rendah. Perubahan yag diusulkan oleh Pemerintah Kota ini, menunjukan inkonsistensi.

Akar masalah

Muara dari semua persoalan ini, adalah rendahnya kesadaran dan tanggungjawab pemerintah dan warga kota:

Konsep perencanaan RTRW Kota Bandung sampai dengan saat ini belum memiliki RDTRK, RTBL, yang tertuang dalam sebuah bentuk konsep yang terintegrasi dan komprehensip dengan mengedepankan, fungsi sosial, dan ekologi. (Master Plan)
Arogansi Kekuasaan dan Inkonsistensi pemerintah, dalam menegakan peraturan yang ada (Contohnya upaya pemerintah kota yang melakukan revisi Perda No. 2 Tahun 2004, tentang RTRW Kota Bandung). Kasus Hotel Planet, dan banyak lagi pelanggaran tata ruang yang dibiarkan begitu saja.
Lemahnya penegakan hukum
Rendahnya partisipasi dan peran serta masyarakat dalam perencanaan Tata Kota ( RTRW).
Rendahnya posisi tawar masyarakat secara politis, sehingga tidak mampu menjadi kekuatan sosial kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.

DIPERLUKAN SIKAP KRITIS DARI MASYARAKAT SEBAGAI SOSIAL KONTROL.

Menyadari bahwa dalam upaya mempertahankan kedaulatan rakyat atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan semakin hari semakin berat. Pertama dihadapkan pada tantangan yang bersumber pada kokohnya dominasi dan penetrasi rezim kapitalisme global melalui agenda-agenda pasar bebas dan hegemoni paham liberalisme baru (neo-liberalism). Kedua, semakin menguatnya dukungan dan pemihakan kekuatan politik dominan di dalam negeri terhadap kepentingan negara-negara industri atau rejim ekonomi global. Rezim kapitalisme global menempatkan rakyat, lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat, bahkan bumi, sebagai tumbal akumulasi kapital.

Dominasi dan penetrasi tersebut telah memposisikan negara menjadi perpanjangan tangan kapitalisme global. Akibatnya kebijakan sosial ekonomi, politik pun diwarnai oleh semangat liberalisasi dan privatisasi yang memudahkan ekspansi modal dan globalisasi pasar. Watak kebijakan negara pada akhirnya membuka jalan bagi perampasan secara sistematis hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya rakyat.

Untuk merespon persoalan tersebut, diperlukan sikap kritis dari masyarakat sebagai kekuatan sosial kontrol, dan menjadikan persoalan lingkungan sebagai gerakan rakyat untuk melawan dominasi kekuatan kapital global dan kebijakan negara yang bertanggung jawab atas perampasan hak sosial, ekonomi, politik dan budaya rakyat yang terjadi ditingkat lokal, nasional dan internasional.

Permasalahan lingkungan hidup juga bukan masalah yang berdiri sendiri, dan harus dipandang sebagai masalah sosial yang kolektif. Oleh karenanya, masalah lingkungan hidup saat ini mau tidak mau, juga harus didudukan sebagai masalah sosial. Dalam konteks demikian, mau tidak mau, maka gerakan lingkungan harus mentransformasikan dirinya menjadi sebuah gerakan sosial. Artinya seluruh komponen masyarakat seperti buruh, petani, nelayan, guru, kaum profesional, pemuda, remaja, mahasiswa, Kelompok Pecinta Alam (KPA) , anak-anak dan kaum perempuan harus bersatu berjuang menghadapi ketidak adilan lingkungan hidup (environmental injustice). (1 Agustus 2008)

Sumber :
http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/08/myposting_14888.html
10 Mei 2009

Sumber Gambar:
http://pusdiklatgeologi.files.wordpress.com/2009/02/cekunganbandung-12.jpg

1 komentar: